Sudah cukup lama, saya berharap agar di Indonesia banyak profesor yang
bersedia mengajar di jenjang pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP.
Mengapa? Pertama,
karena di sejumlah negara lain, seperti Singapura, Jepang Eropa, atau
Amerika, misalnya, sudah menjadi hal yang relatif biasa, seseorang yang
bergelar Doktor atau bahkan Profesor masih bersedia dengan senang hati
mengajar di tingkat pendidikan dasar.
Kedua, pendidikan tingkat dasar sangat penting sebagai
fondasi bangunan pengetahuan anak-anak pada tingkat jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Kehadiran seorang guru yang dianggap jauh lebih
menguasai secara materi dan pedagogi, akan sangat membantu dalam
membentuk fondasi dan mengembangkan pengetahuan anak yang lebih baik.
Ketiga, adanya gap (jurang pemisah) antara
mereka yang selama ini merasa jauh lebih “pintar” dengan mereka yang
dianggap sekedar pelaksana dalam menggeluti pekerjaan rutin sebagai
guru semata. Sudah saatnya, mereka yang selama ini berhak menggariskan
kebijakan pendidikan, sekaligus selalu memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada para guru, agar mengetahui secara langsung dan lebih
mendalam mengenai kompleksitas masalah yang dihadapi dengan cara
mengajar sendiri di sekolah-sekolah. Bila perlu, minimal mengajar
selama tiga tahun berturut-turut, sama seperti rutinitas guru biasa,
hingga dapat diketahui apa masalahnya, dan bagaimana hasil belajar yang
diperoleh siswa.
Adalah patut diapresiasi, upaya yang dilakukan oleh kampus Universitas
Indonesia (UI) akhir-akhir ini. Kompas.com menginformasikan bahwa
bertempat di Balai Sidang Kampus UI, Depok, Sabtu, (11/2/2012) pagi,
Universitas Indonesia bekerja sama dengan DAAD Jakarta mengundang 250
siswa-siswi sekolah dasar dari 50 SD se-Jabodetabek untuk mengikuti
program Kinder Uni (pengenalan sains untuk sekolah dasar) oleh para
profesor/guru besar dari Universitas Indonesia.
Disebutkan bahwa program Kinder Uni digelar setiap Sabtu selama satu
bulan. Setiap sekolah mengirimkan empat siswanya untuk menjadi peserta.
Kehadiran mereka didampingi guru dari tiap sekolah dan orangtua. Dalam
kegiatan yang berlangsung setiap hari Sabtu (pukul 08.00 WIB) ini, para
profesor diuji kemampuannya untuk memaparkan konsep sains secara
sederhana yang dapat dipahami dengan mudah oleh siswa kelas 4-6 SD
tersebut.
Para profesor yang akan menjadi pengajar Kinder Uni di UI di antaranya
Lepi Tamidi (FEUI), Asmarinah (FKUI), Gumilar Rusliwa Somantri (FISIP
UI), Hengky Ashadi (FTUI), dan Emil Budianto (FMIPA UI). Tema yang akan
dibawakan antara lain “Mengapa Terjadi Gempa”, “Apa Itu Uang dan
Peranannya”, “Tantangan Masa Depan Umat Manusia”, “Mengapa Kita Perlu
Makan dan Minum”, dan “Daerah Aliran Sungai”.
Tentu saja, kita berharap agar program ini tidak semata sebuah kontes
atau demonstrasi keahlian sang profesor. Akan tetapi, perlu dijadikan
sebagai bagian dari pilot project
untuk mengembangkan strategi pendidikan bermutu dengan menempatkan
guru-guru yang bermutu pula. Dalam hal ini, mereka yang telah bergelar
doktor atau profesor, untuk bersedia mengajar di sekolah tingkat dasar
sekalipun.
Secara kulutral, hal ini dapat dijadikan sebagai bagian dari upaya
untuk memberikan alternatif budaya pendidikan. Bahwa gelar kesarjanaan
bukanlah bagian dari status dan jabatan feodal, sehingga seseorang yang
bergelar tinggi harus merasa malu ketika harus mengajar pada jenjang
sekolah yang dianggap lebih rendah.
Sudah saatnya, gelar akademik tidak lagi semata merupakan kepanjangan
budaya feodal dalam abad modern. Gelar akademik harus lebih
mencerminkan kompetensi, sumbangsih dan perannya secara riil bagi
kemajuan pendidikan bangsa ini. Gelar akademik, bukanlah semata menjadi
asesoris status sosial yang kadang-kadang sempat membuat jengah dan
geleng-geleng kepala dari sebagian orang yang kebetulan turut
menyaksikan sikap dan tingkah lakunya.
Kita hanya bisa berharap, semoga saja ada perubahan kultural secara
mendasar dalam pendidikan kita. Sambil bertanya, kapan para doktor dan
profesor mau mengajar “sungguhan” di SD atau SMP di seluruh Indonesia? ***Penulis : Sri Endang Susetiawati