Judul di atas mungkin bertentangan dengan pernyataan
“semua orangtua pasti bahagia melihat anaknya sukses”. Namun bila kita mau membuka mata, maka kenyataan itulah yang terjadi di negeri kita, Indonesia. Orangtua memang bahagia melihat anaknya berhasil, namun dibalik itu semua,
orangtua harus memeras otak,
membanting tulang demi keberlangsungan pendidikan anak-anaknya. Tegakah anak melihat betapa menderitanya orangtua untuk memenuhi kebutuhan yang satu ini? Coba balik pertanyaan itu. Tegakah orangtua melihat anaknya stress menjadi pengangguran? Inilah hal yang harus kita pikirkan bersama.
Pendidikan adalah salah satu jalan untuk
mencapai kesuksesan seseorang. Pendidikan menjadi suatu prioritas dalam
program andalan pemerintah melalui kebijakan yang tertulis dalam UU
No.20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global
sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan. Bila merujuk pada pernyataan tersebut,
sebenarnya konsep pendidikan dari penguasa negeri ini sudah ideal. Namun bagaimana praktiknya saat ini? Jauh.
sebenarnya konsep pendidikan dari penguasa negeri ini sudah ideal. Namun bagaimana praktiknya saat ini? Jauh.
Pemerintah telah menganggarkan 20% APBN
untuk biaya pendidikan, namun yang benar-benar dimanfaatkan hanya 2-5%
saja. Lalu kemana 15% sisanya? Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang
digembar-gemborkan dapat menyokong kebutuhan pendidikan dasar
masyarakat kalangan bawah, nyatanya masih kurang. Memang biaya SPP dan
uang gedung sudah ditalangi BOS, tapi sekolah tanpa buku dan seragam
adalah omong kosong. Mereka masih harus membayar biaya buku dan seragam
yang jumlahnya tidak sedikit. Isu-isu sekolah gratis hanyalah harapan
hampa bagi masyarakat. Kalau pun ada sekolah gratis, fasilitasnya hanya
seadanya.
Pendidikan di Indonesia telah lebih maju
daripada tahun-tahun sebelum reformasi, yang masih membatasi gerak
pendidikan. Saat ini sekolah-sekolah negeri bertaraf nasional (SSN)
bahkan internasional (SBI) telah dirintis. Hal ini justru membuat
jurang kesenjangan semakin dalam karena biayanya jauh lebih mahal
daripada sekolah biasa. Alasan utamanya adalah untuk memberikan
fasilitas terbaik pada peserta didik agar tercipta manusia yang bermutu
tinggi. Lalu, bagaimana dengan output pendidikan taraf internasional?
Sampai saat ini belum diketahui apa timbal balik nyata bagi pembangunan
di masyarakat. Pendidikan seakan-akan dikomesialisasikan, dijadikan
alat untuk pencitraan penguasa semata. Maka sebutan SBI bukan merujuk
pada tarafnya, namun tarifnya, Sekolah Bertarif Internasional.
Itu baru pendidikan dasar. Lebih jauh lagi
bila kita tengok pendidikan di Perguruan Tinggi. Fenomena perguruan
tinggi telah banyak dibahas di berbagai pemberitaan di media, mulai
dari kurikulum hinga pembiayaannya. Biaya perguruan tinggi yang
melangit membuat masyarakat berpikir bahwa kuliah hanya untuk mereka
yang berduit. Isu-isu privatisasi perguruan tinggi negeri, dimana PTN
bisa mencari dana sendiri dari berbagai pihak, semakin meyakinkan
masyarakat untuk tidak menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Padahal,
banyak perusahaan menyaratkan minimal lulusan sarjana untuk perekrutan
pegawainya. Sarjana pun, kalau tidak kreatif, akan susah mencari
pekerjaan. Hal ini tentu saja berimplikasi buruk pada perekonomian
Indonesia. Angka pengangguran dan kriminalitas meningkat, kemiskinan
semakin merajai bumi yang katanya kaya raya ini, dan otomatis beban
negara pun semakin berat.
Mahalnya pendidikan di Indonesia tidak
diiringi dengan peningkatan kualitas individu yang signifikan. Banyak
orang pintar di negeri ini, namun mereka tidak cerdas. Doktrin yang
secara tidak langsung ditanamkan sejak pendidikan dasar, yaitu sekolah
untuk mencari pekerjaan, telah membunuh kreatifitas peserta didik.
Berbagai cara dihalalkan untuk segera lulus, mendapat ijasah, kemudian
memperoleh pekerjaan pada lini-lini yang strategis untuk memperkaya
diri. Akibatnya jual beli ijasah, jual beli gelar, bahkan jual beli
nilai bukan menjadi hal yang tabu. Hati nurani mereka kalahkan hanya
untuk mendapatkan kekuasaan. Inilah yang menyebabkan lingkaran setan
korupsi di negara ini tidak pernah bisa teputus. Entah sampai kapan hal
ini akan berlangsung kalau tidak ada tindakan dan komitmen nyata dari
para pembuat kebijakan.
Sudah semestinya permasalahan pendidikan di
Indonesia diselesaikan dengan cara yang cerdas. Pendidikan bukanlah
alat pembangun kekuasaan, kekuasaanlah yang seharusnya dapat membangun
pendidikan. Pendidikan yang merupakan kebutuhan dan hak setiap individu
seharusnya bukan menjadi barang mewah. Dengan terciptanya pendidikan
yang terjangkau, maka seluruh lapisan masyarakat bisa merasakan
nikmatnya pendidikan. Orangtua tidak perlu resah memikirkan biaya
pendidikan, dan anak-anak pun tidak perlu resah untuk dapat meraih hal
terbaik bagi masa depan mereka.
Penulis : Mahayu Fristy
Penulis : Mahayu Fristy