"Headline News PGSD UNTIRTA! ^^Pengajuan Judul Skripsi Tahap Satu dapat dikirim .Disini^^Jejaring Sosial PGSD UNTIRTA sudah diluncurkan, klik disini ^^ Rancangan P2KK oleh rektor UNTIRTA klik disini

PARADIGMA PEMBELAJARAN MENJAWAB TANTANGAN JAMAN

Oleh,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA

PENDAHULUAN

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi tantangan yang berdimensi ganda. Karena kalau Negara-negara Eropa sejak abad ke-17 sejak Renaisance terus maju menjadi Negara industry didukung dengan peradaban modern (Science and Technology), penghuni Nusantara nasibnya terbalik.

Setelah runtuhnya imperium Majapahit,

— yang masa jayanya meliputi semenanjung Malaya, seluruh Kalimantan, bahkan sampai Philipina Selatan, — menjadi ratusan kerajaan kecil yang kemudian satu per satu terutama sejak abad ke-17 dikuasai oleh kaum penjajah, Portugis, Inggris, dan Belanda. Jadi kalau di Eropa abad ke-17 adalah kebangkitan rasionalisme dan Negara kebangsaan, Indonesia pada periode yang sama mengalami masa suram, dan pada permulaan abad ke-20 sepenuhnya dikuasai kaum penjajah. Dan baru mulai permulaan abad ke-20 melalui kebijakan yang terkenal Politik Etis, masyarakat Indonesia terutama elitnya mulai berkenalan dengan peradaban modern melalui sekolah-sekolah Eropa yang dibuka untuk elit pribumi. Kebijakan ini tanpa direncanakan oleh pemerintah penjajah telah melahirkan kaum terpelajar yang memimpin pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Pada tahun 1940 penduduk Indonesia yang dapat mengikuti pendidikan modern hanyalah 93.416 orang pada tingkat Sekolah Dasar Belanda untuk pribumi (HIS, HCSL); 4034 ELS (Sekolah Dasar Eropa), 8235 SMP (MULO), 922 AMS (SMA), 552 HBS (SMA), 206 Gymnasium dan 157 Mahasiswa . Jadi kalau pada saat proklamasi jumlah yang melek huruf itu sekitar 10 % mayoritas hanya melek huruf daerah dan pendidikannya pun hanya mengutamakan 3 R (Writing, Reading, and Arithmatic).
Dengan bermodalkan sumber daya manusia Indonesia seperti inilah nampaknya para pendiri Republik meletakkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “memajukan kebudayaan nasional Indonesia” melalui diselenggarakannya “Satu Sistem Pengajaran Nasional” sebagai wahana strategic untuk membangun Negara Bangsa Indonesia. Jadi tantangan utama bagi bangsa Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hampir enam puluh lima tahun setelah merdeka, “apakah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ masih merupakan tantangan?” Berangkat dari penelaahan penulis atas latar belakang sejarah peranan yang diharapkan dari pendidikan nasional dalam membangun Negara bangsa Indonesia, memenuhi harapan panitia, tulisan ini akan berturut-turut membahas : (1) Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia di abad ke-21; (2) Pendidikan yang relevan menghadapi tantangan jaman; dan (3) Model pembelajaran yang relevan dengan tantangan jaman.
I. TANTANGAN YANG DIHADAPI BANGSA INDONESIA DI ABAD KE-21
Pada pembukaan tulisan ini penulis mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi Negara Bangsa Indonesia pada permulaan kemerdekaan, pertengahan abad ke-20, adalah multidimensi. Yaitu meliputi semua dimensi kehidupan Negara bangsa modern baik politik, ekonomi, dan IPTEK. Dalam dimensi politik hampir semua prinsip dan kaidah penyelenggaraan Negara yang tertuang dalam UUD 1945, seperti bentuk Republik, Demokrasi Perwakilan, adanya berbagai Lembaga Negara belum pernah dihayati oleh seluruh warga bangsa termasuk para perumusnya. Di bidang ekonomi selama hampir 350 tahun kegiatan ekonomi modern dikuasai sepenuhnya oleh pemodal asing dan dikelola oleh warga Non-Indonesia. Di bidang IPTEK kalau dunia sudah mengenal lembaga Pendidikan Tinggi modern pada abad ke-11 (Bologna) dan abad ke-12 (Paris) dan Amerika Serikat pada abad ke-17 (Harvard), Indonesia baru pada tahun 1920 dengan berdirinya Sekolah Tinggi Teknik (THS, sekarang ITB) di Bandung. Karena itu pada tahun 1949, empat tahun setelah proklamasi, Indonesia baru memiliki 35 Insinyur, 1200 dokter, 150 dokter gigi, dua ekonom bergelar Doktor dan seorang Fisikawan . Dengan kondisi tingkat perkembangan bangsa seperti inilah Presiden Sukarno menyadarkan masyarakat bangsanya bahwa kita menghadapi “A summing up of many revolution in one generation”. Yang dalam pemahaman penulis merupakan suatu penyadaran bahwa yang kita hadapi bukan hanya revolusi politik tetapi hampir semua dimensi kehidupan. Karena itu pula nampaknya mengapa Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang Deklarasi Kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dalam pemahaman penulis merupakan misi untuk melakukan transformasi budaya dari budaya tradisional dan feodal menjadi budaya yang maju, modern, dan demokratis. Suatu perubahan radikal melalui proses evolusioner. Dan pendidikan adalah wahana yang paling strategis. Karena itu pula UUD 1945 disamping menetapkan “hak setiap warga Negara mendapatkan pengajaran” (sebelum amandemen), juga mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional”.
Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh para pembangun Negara Kebangsaan (Nation State) yang berpegang pada paradigma “Build Nation Build School” seperti Thomas Jefferson (Amerika Serikat), Otto Von Bismark (Jerman), Kaisar Meizi (Jepang) dan selanjutnya pasca Sukarno-Hatta diikuti oleh Mahatir Muhammad (Malaysia), Park Chung Hee (Korea Selatan), dan Den Xiaoping (China). Karena itu pula pada saat pendiri Republik masih terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara “at all cost” sejak tahun 1950 sudah dirancang wajib belajar SD, dengan penyelenggaraan pendidikan guru yang berikatan dinas dan berasarama, untuk perluasan SMA ke seluruh Indonesia pada tahun 1950-an diadakan Program Pengerahan Tenaga Masyarakat (terkenal dengan PTM) yang merekrut mahasiswa tingkat III dari Universitas terpandang seperti UGM dan ITB untuk menjadi guru di SMA di luar Jawa dengan masa bhakti tertentu dan setelah itu dengan tetap berstatus sebagai PNS dapat kembali mengikuti kuliah. Pada tahun 1960 melalui Program Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun, direncanakan berdirinya Universitas Negeri sekurang-kurangnya satu untuk setiap provinsi, sehingga pada tahun 1964 setiap provinsi di Indonesia, termasuk Irian Jaya, berdiri Universitas. Pada saat itu Universitas Negeri dilengkapi dengan perumahan dosen dan asrama putra dan putri.
Dengan lengsernya para pendiri Republik dari panggung administrasi penyelenggaraan pemerintah Negara, Bung Hatta pada tahun 1956, dan Bung Karno 1966, paradigma “Build Nation Build School” nampak tidak menjadi tekanan. Muncul teori “Trickle-down effect”, yaitu pendidikan akan maju dengan majunya ekonomi. Karena itu walaupun berbagai inovasi pendidikan telah dilancarkan, termasuk pendidikan jarak jauh, pengaruh pendidikan terhadap pembangunan bangsa belum dirasakan. Paradigma baru sebagai turunan “Trickle-down Effect” bahwa penyelenggaraan pendidikan, dalam hal keuangan, menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua, yang melahirkan kewajiban peserta didik untuk membayar SPP. Dan terakhir lahirnya UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP melegalkan tidak perlunya Pemerintah membiayai sepenuhnya pendidikan terutama Pendidikan Menengah dan Tinggi. Dampak yang langsung kita rasakan adalah walaupun angka partisipasi sekolah terus naik baik SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, tetapi angka pengangguran warga Negara terdidik juga terus meningkat. Tingginya pengangguran, rendahnya produktifitas kerja, rendahnya etos kerja, rendahnya disiplin nasional, dan belum cerdasnya kehidupan bangsa, seperti kalau musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, kalau musim kemarau kehilangan air bersih dan sukar bertanam, kalau ada penyakit menular sukar mengatasi seperti demam berdarah dan kalau terjadi gempa rumah-rumah dan bangunan hancur berantakan, rendahnya kebanggaan berbangsa dan bernegara, belum mantapnya budaya demokrasi dan rentannya infrastruktur pembangunan ekonomi (infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, dan infrastruktur sumber daya manusia) , dalam pandangan penulis adalah tantangan mulitdimensi yang dihadapi Negara Bangsa Indonesia. Apalagi kita sekarang sudah berada pada era “knowledge based economy”. Pada era ini Indonesia Indonesia jauh dari Malaysia dalam hal menghasilkan paten. Kalau pada tahun 2004 Indonesia hanya menghasilkan 16 paten, Malaysia 160 paten dan negara maju diatas 160000 paten. Ini disebabkan karena dana riset Indonesia hanya 0,05 % PDB, Malaysia 0,7 % PDB, Negara maju rata-rata 2,3 % PDB. Kalau dana untuk Perguruan Tinggi Indonesia 0,23 % PDB, Malaysia 2,3 % PDB, AS 2,5 % PDB, China 3 % PDB.
Dari serangkaian uraian dibagian ini penulis sampai pada kesimpulan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia masih tetap multidimensi, dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa masih tetap perlu diupayakan terwujudnya. Pertanyaannya adalah pendidikan seperti apa yang mampu menunjang Negara Bangsa Indonesia menghadapi tantangan jamannya? Bagian berikut akan mencoba mengulasnya.
II. PENDIDIKAN YANG RELEVAN UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN JAMAN
Kalau pada bagian terdahulu penulis mencatat betapa dalam sejarah Negara yang sekarang termasuk jajaran Negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang yang pada akhir-akhir ini disusul dengan Malaysia, Korea Selatan, danTaiwan nadalah bangsa yang pemimpinnya seperti para pendiri Republik, mendudukkan pendidikan sebagai landasan bagi pembangunan bangsa.
Pemimpin pada abad ke-20 seperti John F. Kennedy pada tahun 1957 saat Amerika Serikat tertinggal dalam teknologi ruang angkasa (peluncuran SPUTNIK) yang dipertanyakan adalah “what’s wrong with American classroom?” Seorang ekonom, pada tahun 1965 sejalan dengan pemikiran tersebut menyatakan :
“Indeed, if a country is unable to develop its human resources, it cannot build anything else, wether it be a modern political system, a sense of national unity, or prosperous economy”
Pandangan ekonom yang memperkuat pentingnya pendidikan untuk pembangunan yang diutarakan pada tahun 1965, berdasarkan pengalaman berbagai Negara, pada tahun 2004 BPS Bappenas, dan UNDP menekankan pentingnya pendidikan dalam kalimat berikut :
“Indonesia need to invest more in human development not just to fulfill its peoples basic rights but also to lay the foundation for economic growth and to ensure the longterm survival of its democracy”
Dari dua kutipan diatas jelaslah betapa memasuki abad ke-21 para ekonom dan ahli makin meyakini bahwa hanya dengan pendidikan suatu bangsa dapat membangun baik politik, ekonomi, maupun rasa kebangsaan. Tentang pentingnya pendidikan bagi pembangunan bukan hanya dirasakan oleh Negara berkembangan tetapi Negara semaju Amerika Serikat pun tetap mendudukkan pendidikan sebagai tiang pembangunan bangsa. Kalau JF Kennedy yang dipertanyakan adalah “what’s wrong with American classroom?” dalam mengatasi ketertinggalan Amerika Serikat, para Gubernur Negara Bagian Amerika Serikat dalam menghadapi abad ke-21 tidak kalah tegasnya dengan JF Kennedy dalam memandang kedudukan pendidikan. Berikut adalah kutipan dari sikap mereka :
1) “As a nation, and a state, we are engaged in a protracted economic war or attrition that will not be won with bombers but with blackboards a war that will not be won or lost on the bathlefield but in the classroom” (Governor Richard D Lamn, Colorado)
2) “Education is the fuel that drive the engine of economic growth and job creation in America’s modern society” (Governor Rudy Perpich, Minnesota)
3) “If the state is going to be serious about industrial recruitment, legislatures, and citizens must become serious about improving the quality of our educational system” (Governor Tony Anaya, New Mexico)
4) “I believe that in a global economy, Ohio’s ability to overtake our competition is directly linked to the level of our investment in education” (Governor of Ohio)”
Dari serangkaian kutipan tentang pandangan para ahli ekonomi, UNDP, Bappenas, dan para Gubernur Negara Bagian di Amerika Serikat jelas betapa pendidikan adalah wahana strategis bagi pembangunan suatu bangsa atau dalam bahasa seminar ini wahana untuk menghadapi tantangan jaman yang dihadapi suatu Negara.
Pertanyaan pokok dari bagian ini adalah “Pendidikan seperti apa yang dapat berperanan menghadapi tantangan jaman atau pembangunan suatu bangsa?” Jawabannya adalah bahwa hanya pendidikan yang bermutu yang mampu menunjang proses pembangunan bangsa. Pertanyaannya apakah indikator pendidikan yang bermutu itu? Pendidikan yang bermutu sesungguhnya dapat ditarik dari berbagai ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003.
Bila kita mendalami UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas kita akan menemukan sumber nilai yang dapat dijadikan ukuran bermutu tidaknya program pendidikan.
Pasal 1 ayat (1) secara jelas menggariskan proses pendidikan yang bermutu dengan rumusan sebagai berikut.
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Dari rumusan itu jelaslah bahwa hanya “proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya yang dapat dipandang bermutu. Karena tanpa proses pendidikan yang demikian tidak mungkin dapat mendukung fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang digariskan dalam pasal 3 yang tertulis :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dikutip diatas menunjukkan betapa “berkembangnya kemampuan” dan “terbentuknya watak” merupakan fungsi yang harus diemban oleh proses pendidikan, terutama di sekolah.
Dan itu hanya mungkin kalau proses pendidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan sebagai yang digariskan dalam pasal 4 ayat (3) yang tertulis sebagai berikut
“Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”
Dari ulasan terdahulu jelaslah bahwa mutu pendidikan terutama harus dilihat dari “kemampuan” dan “watak lulusan” yang bermakna bagi pembangunan peradaban banga yang bermartabat. Yang secara rinci setiap lulusan harus merupakan manusia :
(1) yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(2) yang berakhlak mulia;
(3) yang sehat;
(4) yang berilmu, cakap, dan kreatif;
(5) mandiri;
(6) yang demokratis;
(7) yang bertanggung jawab
Inilah karakteristik dari lulusan yang bermutu. Yang dalam bahasa Deklarasi Pendidikan untuk Semua tahun 1990 meliputi kemampuan untuk :
1. bertahan hidup;
2. dapat mengembangkan diri;
3. dapat berpartisipasi dalam masyarakat;
4. dapat memperoleh pekerjaan;
5. dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi; dan
6. dapat belajar sepanjang hayat.
Seperti telah diulas terdahulu bahwa mutu lulusan dengan karakteristik kemampuan dan watak yang sedemikian hanya dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang bermutu sebagai diharapkan dari hakekat pendidikan yang tertulis dalam pasal 1 ayat (1) dan yang bermakna sebagai proses pembudayaan.
Pertanyaan selanjutnya adalah “model pembelajaran seperti apa yang relevan?” Bagian berikut akan mencoba menjawabnya.
III. MODEL PEMBELAJARAN YANG RELEVAN
Pada bagian II telah diulas Pendidikan yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan jaman. Yang intinya adalah bahwa hanya pendidikan yang bermutu, yaitu yang mampu mengembangkan kompetensi dan membentuk wataklah yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan jaman. Dan adalah pandangan penulis bahwa pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan, yaitu membudayakan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan bekerja dan beretos kerja, kemampuan meneliti dan mengembangkan IPTEK, dan membudayakan sikap mandiri, bertanggung jawab, demokratis, jujur, dan bermoral. Pertanyaannya adalah model pembelejaran seperti apa yang dapat bermakna sebagai proses pembudayaan?
Pandangan kami adalah bahwa bila pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menyenangkan, seperti yang dikemukakan oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini Unesco, melalui International Commission on Education for The 21st Century , yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilege of the few to technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar.
Menerapkan empat pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sesame peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”
Pemikir pendidikan seperti Whitehead (1916) memandang pendidikan sebagai “acquisition of the art of the utilization of knowledge” . Karena itu, dia sampai menyatakan bahwa orang yang paling banyak pengetahuannya adalah orang yang tidak berguna di bumi Tuhan : “A merely well informed man is the most useless bore in God’s earth” . Selanjutnya dalam ceramahnya di hadapan Himpunan Matematika pada 1916 dia menekankan agar peserta didik sejak dini harus dapat menikmati proses penemuan. Kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut.
“Let the main ideas which are introduced into a child’s education be few and important, and let them be thrown into every combination possible. The child should made them his own, and should understand their application here and now in the circumstance of his actual life. From the very beginning of his education, the child should experience the joy of discovery”
Kritik ini, yang dia tujukan pada praktik pendidikan di Inggris pada permulaan abad ke-20 menjadi landasan pembaharuan pendidikan di AS pasca-SPUTNIK. Selanjutnya muncul pemikir-pemikir pendidikan di AS seperti Philip Phenix, Jerome Bruner, dan Israel Sheffler. Philip Phenix, misalnya, mengemukakan :
“It is more important for the student to become skillful in the ways of knowing than to learn about any particular product of investigation. Knowledge of methods makes it possible for a person to continue learning and undertake inquiries on his own”
Gerakan pembaharuan pendidikan di AS, yang juga mempengaruhi Negara-negara Eropa Barat, telah membuahkan kemajuan IPTEK yang berpengaruh bagi perkembangan Negara-negara Barat. Memasuki akhir abad ke-20, dalam dunia yang makin mengglobal, perbedaan kemampuan antara Negara maju dan Negara berkembang makin melebar. Sadar akan hal ini, UNESCO membentuk suatu komisi internasional yang tujuannya memberikan rekomendasi kepada UNESCO untuk menerapkan empat pilar belajar.
Empat pilar itu ditujukan agar proses pendidikan dapat menghadapi tantangan abad ke-21.
“The need for change from narrow nationalism to universalism, from ethnic to cultural prejudice to tolerance, understanding and pluralism, from autocracy to democracy its various manifestations, and from technologically divided world where high technology is privilege of the few to a technologically united world, places enormous responsibilities on teacher who participate in the moulding of the characters and minds of the new generations”
Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Tetapi untuk melaksanakan peran itu, kondisi pendidikan di Negara berkembanga pada umumnya, termasuk Indonesia, jauh dari memadai.
Akibat dari perkembangan ini, yaitu perluasan kesempatan belajar yang terjadi adalah sekolah yang berjubel dengan guru yang secara professional kurang memenuhi syarat, dan proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat, menghafal, dan mengingat kembali. Mufti yakin bahwa tiadanya kesempatan bagi peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu akan merugikan masyarakat, karena sumber daya manusia yang baik untuk pembangunan masyarakat sukar diperoleh. Dalam kalimat aslinya dia menyatakan :
“Notwithstanding the good intentions of traditional policies, to deprive outstanding students of appropriate educational opportunities is to deprive society the best human resources that lead towards real and effective development”
Dengan latar belakang inilah, yaitu ketertinggalan Negara berkembang dari Negara maju dalam penguasaan IPTEK yang melatarbelakangi kemajuan ilmu dan stabilnya system politik demokrasi dan tiadanya dukungan bagi pemerataan pendidikan, UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu : Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be
Berikut penulis bermaksud mengulas masing-masing pilar tersebut.
Learning to Know
Seperti telah dikemukakan oleh Philip Phenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan “ways of knowing” atau “mode of inquiry” telah memungkinkan peserta didik (mahasiwa) untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan hasil penelitian orang lain. Karena itu, hakekat “Learning to Know” adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Dalam bahasan Israel Scheffler pilar ini pada hakekatnya terkait dengan relevansi epistemologi, yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik (pelajar/mahasiswa) terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Dalam kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut :
“Epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic union. It requires not contact but criticism, not immersion in the phenomenal and conceptual given, but the flexibility of mind capable of transcending, reordering, and expanding the given. ‘An education that fosters criticism and conceptual flexibility transcends its environment and by erecting a mythical substitue for this world but rather striving for a systematic and penetrating comprehension of it.”
Selanjutnya dia menguraikan pengkajian dalam kalimat berikut :
“Theoretical inquiry, independently pursued has the most powerful potential for the analysis and transformation of practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the greatest educational interest. Such interest is not, contrary to recent emphases, exhausted in a concern for inquiry within the structure of several disciplines. Students should be encouraged to employ the information and technique of disciplines in analysis, criticism, and alteration of their practical outlook. Habits of practical diagnosis, critique and execution upon responsible inquiry need the supplement theoretical attitude and disciplinary proficiencies in the traing of the young.”
Sengaja penulis mengutip pandangan Scheffler demikian panjang karena dari sudut pandang pendidikan tinggi, pandangan Scheffler tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan “learning to know” pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang pentingnya pilar “learning to know” untuk berangkat dari disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin ilmu adalah bentuk yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan :
“In the revolutionary perspective, thought is an adaptive instrument for overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry, the most highly form of thought is the most explicity problem directed.”
Selanjutnya dia menyatakan :
“Interpreting science as the most refined and effective development to such adaptive thinking, is urges the outensible problem-solving pattern of scientific research as the chief paradigm of intellectual activity, to be favored in all phases of education and culture.”
Dari uraian diatas dan kutipan yang sengaja penulis sajikan dapatlah ditarik pemahaman bahwa penerapan pilar “learning to know” pada tingkat pendidikan tinggi adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam pelaksanaan perkuliahan. Suatu model yang penulis alami selama mengikuti kuliah di “University of California”. Dengan model pendekatan ini dapatlah dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learnig to do
Bagaimana dengan pilar kedua “learning to do”. Kalau pilar pertama,”learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalama penguasaan IPTEk antara negara di dunia dan tidak lagi dibagi antara negara uatara-selatan, pilar kedua, “learning to do”, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan – pekerjaan seperti “controlling, monitoring, maintaning, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Dengan kata lain, menyiapkan anggauta masyarakat memasuki dunia kerja yang dalam “technology knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi penting.
Dalam kaitan dengan “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakekat pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti pula bahwa untuk melahirkan generasi baru yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan. Dalam kaitan ini, ada baiknya penulis kutipkan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis dalam kalimat berikut :
“Thought according to widely prevalent doctrine is problem oriented. It originates in doubt, conflict, and difficulty. The functions is to overcome obstacles to the smooth flow of human activities. When action is coherent and well adapted to its circumstances, human energy is released into overt channel set by habit and custom. The blocking of conduct either through internal conflict on environment hidrance, turns its energy inward, transforming its into thought.”
Dalam kaitan ini, pada tingkat pendidikan tinggi, mengandung makna atau berimplikasi tentang perlunya pendidikan profesional pada pendidikan tinggi secara konsekuentif, bermuara pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan seorang mahasiswa berkesempatan mengintegrasikan pemahanan konsep, penguasaan ketrampilan teknis dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi dan improvisasi.
Learning to live together
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antara manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Yang terjadi akhir-akhir ini bahkan sebaliknya yaitu terjadinya konflik antar manusia yang didasarkan atas prasangka, baik antar ras, antar suku, antar agama dan antar si kaya dan si miskin, dan antar negara. Padahal sejak berakhirnya Perang Dunia ke II berbagai deklarasi untuk menjadi dasar penyelesaian konflik seperti Deklarasi HAM, piagam PBB. Bangsa kita sendiri memiliki landasan pandangan hidup Pancasila yang hakekatnya adalah untuk membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antar warga bangsa melainkan dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Komisi Internasional untuk pendidikan abad ke-21 mengakui sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian dan bebas dari prasangka. :
“It is difficult task, since people very naturally tend overvalue their own qualities and those of their group and to harbour prejudies against others. Furthermore, the general climate of competition that is at present characteristic of economic activity, within and above all between nations, tends to give priority to the competitive spirit and individual success. Such competition now amounts to ruthless economic warfare and to a tension between rich and poor that is dividing nations and the world, and exacerbating historic rivalries”.
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh komisi diatas menuntut pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan.
Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan dengan pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan Israel Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan “camping” yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model yang perlu ditempuh. Model sekolah berasrama dan kampus yang merupakan kawasan tersendiri merupakan pendekatan yang ditempuh Inggris dan Amerika Serikat dalam membangun bangsa yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Learning to be
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo sliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”. Inilah kurang lebih makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik (pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery” pada pilar “learning to know”, tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada “learning to do”, dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.
Dan adalah keyakinan keilmuan dan professional penulis bahwa hanya dengan penerapan keempat pilar tersebut upaya menghadapi tantangan jaman melalui pengembangan kemampuan dan pembentuk watak akan dapat secara efektif berhasil. Dan ini akan benar-benar terwujud bila ditunjang dengan sistem evaluasi yang relevan, komprehensif, terus menerus dan obyektif dapat dilaksanakan serta didukung dengan dipenuhi standard minimal untuk semua elemen esensial dari pendidikan seperti yang digariskan dalam PP No. 19 Tahun 2005.
Jakarta, 14 November 2009
Penulis,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Guru Besar (EM) Ilmu Pendidikan UNJ
Ketua Dewan Pembina ISPI
Ketua DD CINAPS
Anggota Forum Konstitusi