Oleh : Prof. Dr H. Engkoswara, M.Ed
ENAM puluh lima tahun Indonesia merdeka, selama itu ia membangun diri, banyak kemajuan dan tak luput dari permasalahan yang menjerat yang sungguh memprihatinkan, bahkan mengenaskan yang berkepanjangan. Marilah bertamasya dari Sabang menyusuri Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai Merauke. Tampak gunung dan lautan membiru dan sawah ladang membentang luas, hijau kemilau yang konon kaya bahan mentah dan budaya. Kota besar ditumbuhi gedung menjulang tinggi dan carefure atau mal punya konglomerat. Tol panjang lebar dibanjiri mobil baru dan mewah. Jalan dipadati sepeda motor seperti laron.
Komunikasi semakin canggih dan merakyat sehingga Si Embok tukang sayur gendong pun mempunyai telefun genggam. Setiap hari lahir sarjana dan doktor baru. DPR dan DPRD gairah dengan sistem multipartai. Suatu kebanggaan Indonesia berhasil menumbuhkan demokrasi yang tampak dalam pemilihan kepala daerah, legislatif maupun pemilihan presiden secara langsung. Sungguh indah Indonesia.
Sayang, masih banyak yang berebut beras biskin (raskin) dan BLT. Pengangguran dan kemiskinan membengkak, tawuran dan kerusuhan antarkampung, bahkan antarkampus tempat kaum intelektual dan aparat negara terus melaju.Pilkada, pemilihan legislatif dan pilpres berjalan marak. DPR dan DPRD bergairah dengan sistem multi partai. Pelajaran? Tidak. Matematika dan bahasa Inggeris misalnya setiap hari berkumandang di TV RI dan TV lain, juara lomba sains internasional mebanggakan.
Perekonomian rakyat yang terpuruk dan masih ada yang susah untuk makan nanti sore. Mafia hukum dan korupsi sulit berhenti dan susah diberantas, kekerasan bahkan pembunuhan yang sadis meninggi dan kehendak melepaskan diri dari NKRI tetap mengakar. Teror bom dan kejahatan berkembang di Indonesia. Menyedihkan, masih banyak anak berkeliaran waktu jam belajar, kalaupun belajar di tempat yang kumuh, kotor dan ambruk. Sungguh suram Indonesia.
Apa yang salah dengan Indonesia? Agama dan sosial kemasyarakaatan? Tidak, dakwah merebak di mana-mana, di siaran TV dan radio maupun dalam bentuk istighatsah dan pelatihan keagamaan dengan biaya yang tiada murah dan ditebak masyarakat Indonesia. Gerakan pembaruan terus berkembang. Uang? Tidak. Uang banyak pinjam-pinjam juga sekalipun tidak merata. Si kaya makin kaya dan si miskin makin mujejes. Polotik? Tidak.
Alternatif Pendekatan
Menelaah secara singkat budaya lokal (Sunda, Sulawesi Selatan, Lampung), ajaran agama Islam, budaya nasional, budaya global dan menyimak sarasehan nasional Kemendiknas RI yang mengangkat berbagai konsentrasi seperi ESQ dengan 7 budi utama, akhlak mulia dan jati diri bangsa. Gejala menyimpang tersebut di atas disinyalir bahwa sebab utama ialah ”budaya yang terabaikan”. Prof. Juwono Sudharsono (Menhan RI) lebih keras lagi, ”Budaya yang tertinggalkan” (Seminar Nasional, Visi Membangun Bangsa Berbudaya Pancasila, Kantor Menhan RI bekerja sama dengan Formoppi, 2001).
Budaya apa yang menjadi karakter bangsa Indonesia yang bermartabat dan di mana sumbernya yang utuh? Budaya adalah olah manusia tentang dinamika sistem nilai yang bermartabat dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang jauh ke depan sebagai hasil dan pedonam berperilaku. Indonesia sudah mempunyai budaya yang luhur yang terdapat dalam falsafah negara dan pandangan hidup bangsa yang hebat, tidak diragukan seujung rambut pun ialah Pancasila dan UUD 1945. Tetapi secara praksis atau Pancasila in action dalam kehidupan seharian belum jelas.
Marilah telaah sejenak sumbernya ialah Pembukaan UUD 1945 karya founding father yang kebal amendemen tetapi jangan hanya dikeloni melainkan hendaknya dimaknai. Silakan membaca cuplikan berikut baik-baik, “… mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Orang awam bahkan para tokoh sering bicara, mencerdaskan kehidupan bangsa, titik sampai di sini. Ini kurang tepat bahkan berbahaya. Orang cerdas tidak selamanya baik. Pembobol bank, koruptor, mafia hukum, pengebom, pembunuh sadis adalah orang yang cerdas, sayang tidak punya kalbu dan rasa.
Memang ada kecerdasan emosional, spiritual, kinestetis atau kebugaran dan estetika, tetapi baru substansi belum menjadi praksis kompetensi kehidupan. Orang melupakan dinamika sistem nilai atau budaya yang membingkainya ialah kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mencermati kekuatan dan wibawa Pancasila yang mendahulukan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka urutannya menjadi budaya cerdas yang damai, merdeka/mandiri dan adil atau disingkat damai, mandiri dan adil yang menjadi karakter atau jati diri bangsa berbudaya Pancasila.
Ada tiga mutiara Pancasila yang jangan pernah terlupakan. Pertama damai. Damai diambil dari frase perdamaian abadi dalam arti rukun, luyu, akur, laras, sabar, dan tidak mau bertengkar apa lagi berkelahi dalam kerangka Bhinneka Tunggal Eka. Damai itu inti iman yang bersumber dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Iman yang membawa damai mempunyai muatan moral spiritual dan kesalehan sosial, secara praksis, ialah, kehidupan yang bersih lahir batin bersih diri dan lingkungan, sehat jiwa dan raga, disiplin terhadap UU-peraturan dan konvensi yang berlaku, hormat terhadap orang tua dan sesama manusia serta pemimpinnya yang baik, mempunyai pandangan hidup ke depan yang baik dan jujur yang ikhlas.
Damai dasar utama warga negara dan warga dunia yang baik, arif bijaksana dan bertanggung jawab (civics responssibilities) yang menjadi akhlak mulia. Damai hasil olah kalbu dan olah raga sehingga menjadi orang sehat sebagai alat atau pedoman berperilaku yang menjadi etika dalam pergaulan antar sesama manusia.
Kedua, mandiri. Mandiri atau merdeka diambil dari kemerdekaan yang artinya mampu berdiri sendiri atas kekuatan, kemampuan dan tanggung jawab sendiri. Menghargai, mencintai dan membanggakan karya dan produksi dalam nengeri sendiri. Mandiri bersumber dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawarahan perwakilan.
Mandiri, perbuatan yang dilandasi oleh semangat belajar, bekerja, berwirausaha dan berjuang yang ulet, sehat dan kuat, disertai penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengatahuan dan teknologi apa pun kecilnya untuk diamalkan kepada kehidupan yang lebih baik. Mandiri menghagai harkat dan martabat manusia. Mandiri mampu memelihara kebersaamaan atau ke-Indonesiaan. Mandiri mampu bermusyawarah untuk melahirkan kesepakatan. Mandiri dalam berbagai dimensi kehidupan (politik, sosial kemasyarakatan dan ekonomi) khususnya mandiri secara ekonomi atau mencari nafkah yang krusial dewasa ini. Mencari nafkah atau upa jiwa minimal untuk dirinya sendiri dan berangsur-angsur membantu orang lain yang memerlukan.
Semua rakyat ikut serta, petani, pengindustri dan penjasa perdagangan dan pelayanan, UKM dan pengusaha bersar bersinergi. Apabila setiap orang dapat mencari nafkah minimal untuk dirinya sendiri, maka pengangguran berangsur-angsur luluh dan kemiskinan mengerdil bahkan menghilang di negeri ini dan pada gilirannya tak mustahil Indonesia sejahtera. Mungkin ini yang didengung-dengungkan dengan ekonomi mandiri, kerakyatan, pro rakyat atau ekonomi Pancasila atas tanggung jawab sosial ekonomi (sosial economic responssibilities). Mandiri hasil olah pikir, akal, otak, terampil dan olah mahir sehingga manusia mempunyai logika mulia untuk berbuat yang jernih dan sistematis.
Ketiga adil. Adil adalah prestasi bagi orang yang mempunyai nilai lebih atau tambah yang menampilkan yang terbaik dalam kehidupan, sehingga patut mendapat penghargaan. Adil bersumber dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil merupakan nilai yang tinggi yang menampilkan yang terbaik, sopan, santun dan luwes, berwawasan masa depan yang imajinatif bebas kendala. Adil hasil olah rasa, kreatif pribadi terpuji dan kompetitif yang sehat yang bermakna seni hidup yang tinggi, indah atau estetika mulia dalam kemitraan dan kebersamaan atas tanggung jawab pribadi (personal responssibilities).
Keutuhan dan keharmonian kehidupan bangsa cerdas yang damai/etika, mandiri/logika dan adil/estetika adalah karakter bangsa yang bermartabat ke-Indonesiaan atau nasionalisme, demokrasi sejati yang harus ditelaah, dirumuskan, disepakati dan diangkat kembali atau direvitalisasi dalam gerakan reformasi total. Itulah yang disebut dengan karakter bangsa berbudaya Pancasila.
Tiga kemampuan/kompetensi kehidupan yang harus dijunjung tinggi dan digelorakan oleh seluruh bangsa Indonesika. Itulah mutiara yang terpendam dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi inti budaya Pancasila yang telah diletakkan oleh bapak bangsa (founding father) yang diabaikan bahkan ditinggalkan dalam reformasi selama ini. Seyogianya diangkat kembali, direvitalisasi dalam menghadapi kehidupan di masa depan yang lebih baik, penuh dinamika, rumit, sulit, banyak tantangan dan kendala tetapi kaya peluang untuk menuju Indonesia berbudaya dan sejahtera. Budaya ini patut dipancarkan untuk menyinari segenap lapisan anak bangsa dari pusat sampai ke akar rumput, serempak bergerak melaksanakan kehidupan cerdas yang damai, mandiri dan adil kini dan masa depan.
Bumikan dalam kehidupan seharian di seluruh Persada Nusantara. Karakter unggulan yang menyejukkan, menyegarkan dan menentukan masa depan bangsa Indonesia. Inilah yang belum digali, dirumuskan dan diangkat sekalipun sering menjadi wacana yang masih samar-samar dan retorika belaka, glamour, memerah dan membiru campur-campur. Tidak heran kalau tawuran, kerusuhan, korupsi, mafia hukum, teror bom dan kekerasan yang sadis sulit berhenti dan upaya melepaskan diri dari NKRI tetap mengakar.
Indonesia ada baiknya becermin kepada negara tetangga yang bangkit seperti Jepang setelah porak peranda, Cina, Korea, Singapure dan Malaysia yang membanggakan budaya sendiri patut diperhatikan, dan Indonesia mempunyai itu.
Karakter bangsa berbudaya Pancasila sejalan dengan budaya khususnya pandangan hidup lokal (Budaya Sunda, Sulawesi Selatan, Lampung). Ajaran agama Islam dan budaya global, sebagai berikut. Pandangan hidup orang Sunda adalah cageur (sehat), bageur (baik budi pekerti), bener (jujur) yang menjadi etika. Pinter (cerdas), singer (terampil), maher (ahli) yang menjadi logika tur moher (kreatif pribadi terpuji) yang bernilai seni atau estetika.
Pandangan hidup Sulawesi Selatan adalah maraja (sehat, kuat, bijaksana, panutan), macenang (optimis, rendah hati) yang menggambarkan etika, ma’ca (cerdas dan terampil), mawatang (mahir dan ahli) menggambarkan logika, macening (cantik, menarik, indah, jujur) menggambarkan estetika. (Sumber: Prof. Drs. H. Taher Djide)
Pandangan hidup orang Lampung adalah waway (sehat jasmani rohani), waway (budi pekerti, jujur, hormat kepada sesama manusia) menggambarkan etika, pater (cerdas), lihai (ahli) menggambarkan logika, sikep (cantik, menarik, nilai lebih, indah) menggambarkan estetika. . (Sumber: Prof. Dr. Hj. Ratu Wardarita, M. Pd.)
Islam juga mengajarkan, iman (etika), ilmu amaliah (logika) dan indah (estetika). Budaya global mengararkan damai (etika) UNESCO, merdeka (logika) yang menjadi amanat Konperensi Asia Afrika 1955 dan luwes dalam bermitra yang bernilai estetika, yang menjadi kebutuhan dasar manusia yang tertinggi ialah ”beauty” atau luwes (estetika) A. Maslow.
Kini Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono melalui Kemendiknas RI telah mengambil langkah yang tepat, mengadakan Sarasehan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada tanggal 14 Januari 2010 di hotel Bumi Karsa Bidakara Jakarta. Sarasehan sungguh kaya dengan masukan seperti sumber utama menurut pandangan berbagai ajaran agama yang ditampilkan dalam materi pokok sarasehan, ESQ, Akhlak Mulia, Jati Diri Bangsa. Semua itu bermuara pada karakter yang bermartabat yaitu Karakter Bangsa Berbudaya Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yang seyogianya menjadi kiblat bangsa Indonesia. Ibarat ”tawaf “di Mekah, dari mana pun asal orang dan dari sudut atau pintu mana pun mereka datang, putih memutih semua menuju satu titik ialah Ka’bah” (Giri Skretaris PMPTK Kemendiknas RI).
Implikasi Terhadap Kehidupan dan Pendidikan
Mendarahdagingkan budaya cerdas yang damai, mandiri dan adil yang menjadi etika, logika dan estetika yaitu karakter bangsa merbudaya Pancasila bukan hal yang mudah dan dalam sekejap. Bukan hanya untuk pemilu pilpres dan pilkada saja, tapi untuk kehidupan seharian sepanjang masa. Oleh karena itu perlu waktu yang cukup dan sinambung, melalui gerakan nasional dalam bentuk transformasi budaya dan pendidikan sepanjang hayat:
Transformasi Budaya. Secara umum melalui transformasi budaya dapat dilakukan secara horisontal dan vertikal. Horisontal oleh seluruh lapisan masyarakat sedangkan secara vertikal sejak pimpinan tertinggi seperti Presiden dan Wakil Presiden, pejabat tinggi negara seperti DPR, DPD dan MPR RI serta segenap jajarannya sampai ke akar rumput seyogianya menjadi panutan, teladan dan idola bergerak serentak membentuk simfoni yang harmoni melaksanakan kehidupan yang damai, mandiri dan adil kini dan masa depan.
Pendidikan Sepanjang Hayat. Pendidikan adalah dasar dan upaya utama untuk menyiapkan manusia khususnya peserta didik, generasi muda yang cerdas damai, mandiri dan adil. Praksis pendidikan yang baik apa pun kecil dan sederhana patut dilandasi teori atau prinsip dasar yang fundamental, aktual dan lengkap. Salah satu prinsip dasar yang fundamental dan aktual ialah ilmu pendidikan berlandaskan trilogi karakter bangsa berbudaya Pancasla. Prinsip dasar itu ialah damai yang menjadi etika dalam pergaulan kehidupan antar sesama manusia, mandiri yang menjadi logika perbuatan yang jernih dan sistimatis dan adil adalah hasil kreativitas terpuji dan kepetitif yang sehat yang menjadi seni hidup yang tinggi dan bermakna indah, luwes yang menggambarkan estetika dalam kemitraan dan kebersamaan. Secara sekematis digambarkan dalam diagram berikut:
Dewasa ini pendidikan sudah menekankan etika dan logika yang masih kurang tegas atau samar-samar. Tidak ekplisit kata damai dan menekankan kata mandiri dalam arti memiliki daya saing yang tinggi. Sedangkan estetika yang mempunyai makna seni hidup mulia, sering terlupakan yang sebenarnya mempunyai peranan yang penting dalam pendidikan dan kehidupan pada umumnya.
Praksis pendidikan diperlukan pendidikan sepanjang hayat yang berkualitas dan sinambung antara pendidikan dalam keluarga (informal), pendidikan dalam masyarakat (nonformal) dan di sekolah (formal) sehingga ketiga lembaga pendidikan itu menjadi pusat pembudayaan.
Marilah telaah sejenak pendidikan di Indonesia dewasa ini:
Tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalan Sisdiknas khususnya dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sungguh lengkap, tetapi tidak memuat kata kunci damai dan adil yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, sekalipun tersurat iman dan mandiri. Lebih baik apabila trilogi karakter bangsa berbudaya Pancasila mengisi tujuan pendidikan nasional, yang dewasa ini dirasakan ada ketimpangan. Tidak mengherakan kalau lulusan dan peserta didik kurang rukun, laras dan kurang menampilkan yang terbaik, yang dikejar lebih banyak kompetisi untuk mendapatkan angka dan kejuaraan.
Kementerian Pendidikan Nasional bersama Dewan Pendidikan Nasional. Dewasa ini Kemendiknas telah mempunyai PP No. 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Nasional dan Dewan Pendikdikan Nasional, supaya kedua lembaga ini terpadu berjalan bahu membahu saling menunjang secata harmonis.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP telah merumuskan berbagai standar nasional pendidikan tetapi sayang ada yang tertinggal yaitu standar kompetensi kehidupan secara praksis tidak tercantum. Akan lebih sempurna apabila trilogi karakter bangsa berbudaya Pancasila dikaji yang manjadi karakter atau jati diri bangsa Indonesia secara eksplisit dan dijabarkan ke dalam tugas-tugas perkembangan manusia Indonesia (developmental taks), sejak usia dini sampai dengan lansia (sejak dalam kandungan, PAUD, TK, SD, SMP, SMA/K, PT dan berbagai lembaga pendidikan di antaranya pramuka dan perempuan).
Pendidik Guru. Guru faktor dominan dalam pendidikan. Pendidik guru yang profesional sebaiknya minimal mempunya 3 kompetensi kehidupan yang mempunyai etika yang membawa damai, logika yang membawa mandiri dan estetika yang membawa adil sehingga mampu dan mumpuni mendidik peserta didik yang hidup damai, mandiri dan adil di masa depan.
Setruktur Kurikulum, sebaiknya terdiri atas, (1) Pendidikan umum bagi semua. (2) Pendidikan keilmuan dan keterampilan sejalan dengan minat dan kekuatan dalam kelompok masing-masing. (3) Pendidikan penyempurna yang bersifat individual yang mempunyai karakteristik sendiri sesuai dengan minat masing-masing individu.
Evaluasi Pendidikan. Evaluasi pendidikan seyogianya didasarkan atas trilogi karakter bangsa berbudaya Pancasila yang utuh sehingga menghasilkan manusia seutuhnya dan paripurna.
Sanksi
Perilaku menyimpang apa pun kecilnya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Perlu segera pembetulan atau pelurusan, teguran dan hukuman jika perlu sesuai dengan kaidah dan konvensi yang berlaku. Misalnya orang belum tahu, mau makan tidak mencuci tangan dulu perlu diingatkan bahwa sebelum makan sebaiknya atau harus mencuci tangan dulu. Berjalan, baik jalan kaki maupun berkendaraan harus sebelah kiri. Bersepeda motor memakai helm, nyetir pakai sabuk pengaman dan bila tidak, beri tahu, tegur dan diberi peringatan tetapi kalau terus menerus sebaiknya diberi hukuman misalnya ditilang baik melalui persidangan maupun didenda di tempat dengan tanda bukti pembayaran yang sah. Demikian juga tawuran, kerusuhan, demo dan berdemokrasi yang kebablasan diberi tahu, teguran dan hukuman jika perlu, secara konsisten. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tawuran dan kerusuhan lebih berbahaya dari pada korupsi yang hanya mengenai uang dan harta tetapi tawuran dan kerusuhan kadang kala merenggut jiwa yang tidak ada gantinya.
Tindak lanjut
Mendarahdagingkan karakter bangsa berbudaya Pancasila mutlak memerlukan gerakan nasional yang dikomandoi oleh Presiden RI melalui Menteri Pendidikan Nasional RI. Mudah-mudahan melalui jalan ini, kehidupan di Indonesia yang dibenahi melalui Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Berbudaya Pancasila akan lebih sempurna dalam membekali peserta didik di masa depan. Niscaya kerusuhan, tawuran, pengangguran berangsur-angsur menyusut dan kemiskinan menipis, mafia hukum, korupsi dan kejahatan yang sadis menghilang dari bumi pertiwi. Gilirannya, Indonesia hidup berbudaya dan sejahtera lahir batin di dunia dan akhirat kelak, dengan memohon ridlo dan naungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.